Menggali Makna Kemerdekaan Lewat Bedah Buku ‘17-an di Kampung Halaman’ Karya Tengsoe Tjahjono
efnews.id - Kota Malang
Rumah Budaya Ratna di Kota Malang kembali mengadakan acara bedah buku berjudul "17-an di Kampung Halaman" karya Tengsoe Tjahjono pada Jumat, 4 Oktober 2024. Kegiatan ini turut menghadirkan sastrawan Kurnia Effendi dari Jakarta untuk berbagi perspektif. Acara dimulai pukul 19.00 dan dibuka untuk umum.
Buku "17-an di Kampung Halaman" mengangkat cara-cara rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan setiap 17 Agustus. Lomba-lomba, karnaval, dan upacara bendera adalah hal yang biasa kita saksikan setiap tahun. Namun, Tengsoe menawarkan sudut pandang yang lebih mendalam, bahwa kemerdekaan tidak hanya dirayakan dengan pesta dan perayaan, tetapi juga dengan kerja keras dan kontribusi nyata. Ia mengutip William Faulkner, yang mengatakan bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang hanya diumumkan, tetapi sesuatu yang harus dipraktikkan dengan tindakan nyata.
"Merdeka bukan hanya sekedar kata-kata, tapi juga sebuah tindakan nyata," ujar Tengsoe Tjahhono. Melalui puisinya yang penuh makna, beliau mengajak pembaca untuk merefleksikan diri, apakah kita sudah benar-benar merdeka dalam pikiran, kata, dan perbuatan? Atau masih terjebak dalam rutinitas yang membelenggu?
Buku ini menyoroti pentingnya mempraktikkan kemerdekaan dalam kehidupan sehari-hari. Tengsoe Tjahhono mengajak kita untuk bekerja keras mengisi kemerdekaan dengan karya nyata, bukan hanya sekedar menikmati hasil perjuangan para pahlawan, bersikap kritis dengan tidak hanya menerima begitu saja, tetapi berani mempertanyakan dan memperbaiki kondisi sekitar, serta saling tolong menolong dalam membangun semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sesama dan juga menjaga lingkungan serta melestarikan alam sebagai warisan bagi generasi.
Melalui kumpulan puisi dalam buku ini, Tengsoe merefleksikan bagaimana bangsa yang sudah merdeka seharusnya berperan dalam mengisi kemerdekaan. "Saya merdeka, tapi jika saya malas berkarya dan hanya hidup dari gaji tanpa berusaha, itu bukanlah praktik kemerdekaan yang sebenarnya," ujar Tengsoe dalam pengantarnya. Ia juga menegaskan bahwa merdeka berarti siap berlelah-lelah untuk membangun bangsa, sebagaimana disampaikan oleh Thomas Paine.
Puisi dijadikan sebagai cermin untuk melihat diri sendiri sebagai bagian dari bangsa yang merdeka. "Apakah kita sudah benar-benar menjalankan kemerdekaan itu, atau justru masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari sikap kita?" tanya Tengsoe. Bagi penulis asal Banyuwangi ini, puisi adalah cara baginya untuk merenung, tanpa terjebak dalam euforia semu perayaan 17 Agustus.
Tengsoe Tjahjono, yang lahir pada 3 Oktober 1958, merupakan penyair yang telah banyak berkontribusi dalam dunia sastra Indonesia. Setelah pensiun dari Universitas Negeri Surabaya, kini ia mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Karyanya telah mendapat berbagai penghargaan, termasuk dari Gubernur Jawa Timur dan Balai Bahasa Jawa Timur.
Kurnia Effendi, sastrawan yang turut hadir dalam acara ini, juga merupakan tokoh sastra yang produktif dengan lebih dari 25 buku solo dan ratusan karya lainnya. Selain menulis, ia aktif sebagai juri dan mentor dalam berbagai acara sastra.
Bedah buku ini akan menjadi ajang diskusi untuk merenungkan makna kemerdekaan yang sebenarnya, tidak hanya sekadar seremonial, tetapi juga bagaimana kita sebagai bangsa dapat bekerja keras dan berkarya untuk memajukan Indonesia serta mengajak kita untuk kembali merenung dan menghargai perjuangan para pahlawan.
Reporter: Francis Xavier
Comments
0 comment